oke deh

Gayus Akui Terima $3,5 Juta dari Alif Kuncoro Pengacara KPC, Aji Wijaya, "Itu kan hanya pengakuan Gayus. Dalam hukum berlaku prinsip siapa yang mendalilkan, dia yang harus membuktikan." BERITA TERKAIT Gayus Tambunan Berharap Bebas Gayus Tambunan Menyesal 'Salah Jalan'

Rabu, 10 November 2010

Sampah bagi masyarakat, tapi justru pendapatan bagi pemulung. Tidak hanya mengumpulkan barang-barang, pasangan suami istri Tawet (70) dan Suriati (65) bersama 6 orang anaknya tinggal di sekitar lokasi Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Air Sebakul.
Tak jauh dari tumpukan sampah, terlihat sebuah rumah berdiri. Rumah tersebut hanya berdindingkan papan dan berlantaikan tanah. Di rumah itu, Tawet dan Suriati mempertahankan kelangsungan hidup keluarganya.
Saat berada di rumah, aroma tak sedap berasal dari tumpukan sampah terasa menyengat. Ditambah pula, hampir di setiap sudut rumahnya terlihat lalat beterbangan. Saking banyaknya, kumpuluan lalat yang hinggap menyerupai kumpulan batu kerikil kecil.
Air yang digunakan mereka untuk keperluan sehari-hari juga cukup memprihatinkan. Bersumber dari kolam, air berwarna kecoklatan dan beraroma kurang sedap. Penggunaan air terpaksa dilakukan karena untuk mengambil air yang lebih layak, harus menempuh jalan lebih dari 1 kilometer.
“Kalau kami sih sudah tidak merasa mencium aroma apa-apa lagi. Dan kalau melihat banyak lalat itu sudah tidak heran lagi. Mungkin karena sudah lama tinggal di sini, jadi sudah terbiasa,” kata Suriati.
Ibarat makan obat, Suriati menceritakan pekerjaan memilih dan mengumpulkan barang bekas biasanya dilakukan 3 kali sehari. Yakni, dimulai pukul 05.00, 14.00 dan 17.00. Pembagian waktu tersebut berdasarkan kedatangan mobil pengangkut sampah yang membuang sampah. “Biasanya mobil sampah masuk 3 kali dalam sehari, pas mobil masuk saya langsung mengumpulkan barang-barang yang bisa dijual,” tambah Suriati.
Melakukannya, dia dibantu 3 orang putranya. Dulunya, Tawet yang mengomandoi melaksanaan pekerjaan tersebut. Namun, sejak mengalami maag kronis beberapa waktu lalu, Tawet terpaksa harus istrirahat di rumah. Lantas, Suriati yang mengomandoi anaknya.
“Jangankan untuk bekerja, bangun saja suami saya sudah susah. Jadi untuk memenuhi kebutuhan hidup saya dan anak-anak yang mengumpulkan barang bekas,” kata Suriati.
Hasil mengumpul barang bekas tersebut, lanjut Suriati, setiap hari hanya mendapatkan Rp 20 ribu. Dengan kondisi tersebut, dia pun tidak bisa memfasilitasi anaknya pendidikan dengan baik. Tidak satu dari 6 orang anaknya yang mengecam pendidikan hingga SMA. “Paling tinggi tamat SMP. Tapi, ada juga yang hanya tamat SD. Sekolahnya jauh sekali dan tidak ada biaya untuk ongkos sehari-hari,” jelas Suriati. (seri)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar